Omnibus Law secara resmi telah disahkan setelah ditandatangani oleh presiden. Namun berbagai penolakan dan protes dari berbagai elemen muncul ke permukaan karena berbagai alasan. Mulai dari berbagai pasal kontroversial hingga bagaimana jalannya penyusunan draft RUU hingga akhirnya disahkan. Berikut ini ada beberapa pandangan mengenai Omnibus Law menurut para ahli.
Dukungan Positif Terhadap Omnibus Law Menurut Para Ahli
Omnibus Law tidak hanya menimbulkan dukungan negatif dari berbagai elemen. Dukungan positif juga muncul terhadap upaya pemerintah dalam membangun ekosistem usaha yang lebih baik di Indonesia. Berikut beberapa dukungan positif dari beberapa ahli mengenai Omnibus Law.
1. Prof Dr. Cecep Darmawan SH MH
Pengamat Kebijakan Publik, Prof Dr. Cecep Darmawan SH MH berpendapat positif terhadap Omnibus Law. Menurut beliau, penggunaan metode Omnibus Law untuk merevisi atau juga mengatur beberapa undang undang lainnya ini merupakan upaya terobosan hukum dan juga penyederhanaan hukum di Indonesia.
Sebagai Kepala Pusat Kebijakan Publik LPPM UPI, beliau juga menyampaikan bahwa penyusunan draft RUU ini bisa menjadi upaya birokrasi yang efisien dan meminimalisir konflik kepentingan. Upaya ini bisa menjadi bagian untuk sentralisasi, penyeragaman, penyatuan, keterpaduan antara kebijakan pusat dan juga daerah .
2. Shinta Widjaja Kamdani
Selaku Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Bidang Hubungan Internasional, Shinta Widjaja Kamdani mengaku mendukung pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU. Pasalnya U Ciptaker ini dianggap dapat menjawab permasalahan dunia kerja terutama untuk aturan tumpang tindih dalam perizinan.
Dalam kesempatan yang sama, beliau juga menyatakan bahwa pengesahan ini mendapatkan sambutan baik dari kalangan dunia usaha karena UU No 11 Tahun 2020 ini dianggap dapat membuahkan investasi dan penciptaan lapangan pekerjaan seperti yang menjadi tujuan dari pembentukan UU ini.
3. Putera Satria Sambijantoro
Putera Satria Sambijantoro selaku ekonom Bahana Sekuritas berpendapat bahwa dalam UU No 11 Tahun 2020 ini perlindungan untuk pekerja tetaplah utuh. Beliau juga berpendapat bahwa pengesahan Omnibus Law Ciptaker ini juga tidak diikuti oleh PHK yang meluas. Aturan yang baru ini juga menyederhanakan persyaratan berlapis dan bertentangan.
Dengan demikian, aturan baru ini akan menghilangkan ketidakpastian untuk investasi yang dianggap akan dapat mendorong pertumbuhan PDB jangka panjang, imbuhnya.
Penolakan Terhadap Omnibus Law Menurut Para Ahli
Selain dukungan, penolakan terhadap Omnibus Law juga disampaikan oleh para ahli mulai dari ahli hukum, akademisi dan juga elemen masyarakat lainnya. Berikut ini ada beberapa keberatan yang telah dirangkum. Keberatan, kritik terhadap Omnibus Law ini dirangkum dari berbagai elemen masyarakat mulai dari ahli hukum, akademisi hingga aktivis lingkungan.
1. Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT)
Penolakan mulai dari draft RUU hingga pengesahannya juga disampaikan oleh PUKAT UGM atau Pusat kajian Anti Korupsi. Pukat UGM menilai bahwa Omnibus Law Ciptaker ini memiliki banyak kecacatan baik secara formil maupun juga materiil. Tak hanya itu saja, proses pembentukan RUU juga dianggap terlalu cepat, tertutup dan minim partisipasi pihak lain.
Sebagai tambahan, UU Cipta Kerja ini berpotensi memiliki penyalahgunaan wewenang dalam ketentuan diskresi. Tak hanya itu saja, sentralisasi kekuasaan yang ada dalam proses penyusunannya juga berpotensi adanya korupsi di dalamnya.
2. Amnesty International Indonesia
Amnesty International Indonesia juga memiliki pandangan yang tidak mendukung terhadap pengesahan Omnibus Law Ciptaker. Menurut pandangannya, UU Ciptaker tidaklah progresif karena banyak ketentuan di dalamnya yang melanggar prinsip non retrogresi yang berarti merupakan kemunduran dalam hal pemenuhan hak masyarakat.
Ada beberapa hal yang disorot dalam UU tersebut mulai dari perjanjian kerja waktu tertentu atau PKWT hingga klaster lingkungan yang juga terpengaruh imbasnya.
3. Walhi
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi juga turut memberikan keberatannya pada pengesahan UU No 11 Tahun 2020. Walhi berpandangan bahwa UU tersebut mengancam keberlangsungan hutan karena adanya penghapusan batas minimum untuk kawasan hutan dan juga daerah aliran sungai atau DAS.
Tak hanya terkait dengan lingkungan hidup, Walhi juga memprotes karena pengesahan RUU ini juga mengesampingkan suara publik yang menolak. Hal itu disampaikan oleh Khalisa Khalid selaku Ketua Desk Politik Walhi.
4. Indef
Dalam hal investasi, Enny Sri Hartati selaku Direktur Eksekutif Institute of Development of Economics and Finance (Indef) mengkritisi tentang pembentukan lembaga pengelola investasi yang menjadi lembaga superbody dalam UU No 11 Tahun 2020 tersebut. Kewenangan tersebut dianggap terlalu besar sehingga dapat berpotensi pada penyalahgunaan wewenang.
Itulah beberapa pandangan Omnibus Law menurut para ahli. Dapat dilihat jika pendapat tersebut tidak berfokus hanya pada ahli di bidang ekonomi dan juga investasi saja melainkan juga dari pelaku usaha, akademisi hingga organisasi seperti Walhi. Dengan banyaknya pandangan dari berbagai elemen ini, pemerintah diharapkan dapat menyerap aspirasinya.